Oleh: Prof. Yusril Ihza Mahendra
Pakar Hukum Tata Negara
Dilihat dari sudut sejarah ketatanegaraan, negara RI bukanlah penerus
Majapahit, Sriwijaya atau lainnya, melainkan meneruskan “semi negara”
Hindia Belanda. Karena itu aturan peralihan UUD 45 (sebelum amandemen)
mengatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku sebelum diadakan yang baru menurut UUD ini.
Yang
dimaksud peraturan yang ada dan langsung berlaku itu, baik dalam
konsepsi maupun dalam kenyataan, bukanlah badan negara dan peraturan
zaman Majapahit, Sriwijaya atau warisan penguasa militer Jepang,
melainkan badan dan peraturan yang diwariskan oleh Pemerintah Hindia
Belanda.
Adapun mengenai penduduk Indonesia, peraturan yang ada
dan lembaga yang mengurus/menanganinya yang berlaku dan dipahami orang
sejak zaman Hindia Belanda adalah peraturan dalam Pasal 163 IS (Indische
Staatsregeling) yang membagi penduduk Indonesia (Hindia Belanda) dalam
tiga golongan, yakni Golongan Eropa, Golongan Timur Asing (terutama
Tionghoa dan Arab) dan Golongan “Inlander” atau pribumi atau “orang
Indonesia asli” yang pada umumnya beragama Islam dan sebagian menganut
agama Hindu, Buddha dan lainnya.
Orang Inlander atau pribumi yang
beragama Kristen status mereka sama dengan golongan Eropa. Dalam hal
kelahiran dan perkawinan, golongan Eropa dan Inlander (Pribumi) Kristen
mereka tunduk pada Hukum Eropa (Burgerlijk Wetboek) dan lembaga yang
mengurusinya adalah Burgerlijk Stand (Catatan Sipil).
Orang
Tionghoa Kristen juga sama. Sementara bagi Inlander Muslim atau
Hindu/Buddha tunduk pada hukum adat masing-masing dan tidak ada lembaga
negara jajahan Hindia Belanda yang mengurusinya.
Status sosial,
ekonomi dan hukum bagi ketiga golongan ini berbeda. Tiga golongan ini
dapat dikatakan seperti urutan dari atas ke bawah. Tempat tinggal mereka
di mana-mana juga beda. Kalau di Jakarta Golongan Eropa tinggal di
Weltevreden (sekitar Lapangan Banteng), Mester Cornelis (Jatinegara,
Polonia), sementara Golongan Timur Asing Tionghoa mendominasi daerah
Pecinan Glodok. Sedangkan Inlander tinggal di pinggiran, Krukut,
Klender, Condet, Cengkareng, dan sebagainya.
Ekonomi ketiga
golongan ini jelas. Golongan Eropa paling makmur, Golongan Timur Asing
lumayan kaya. Golongan Inlander atau pribumi adalah yang paling miskin
di antara semua. Maka tak heran, jika golongan Inlander inilah yang ngotot ingin merdeka karena ketidakadilan dan diskriminasi yang mereka alami di zaman penjajahan.
Dengan
latar belakang sejarah ketatanegaraan itu, kita dapat memahami maksud
kata-kata dalam draf UUD 45 pasal 6 ayat (1) yang mengatakan “Presiden
Indonesia adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam”. Kata
“beragama Islam” dihapuskan pada tanggal 18 Agustus '45. Jadi syarat jadi
Presiden adalah “orang Indonesia asli” yakni “Inlander” atau pribumi
dengan merujuk kepada Ps 163 IS. Jadi bukan orang dari Golongan Eropa
dan bukan pula dari Golongan Timur Asing.
Demikian pula
pasal-pasal mengenai kewarganegaraan dalam draf pasal 26 yang mengatakan
bahwa yang menjadi warganegara Indonesia adalah orang Indonesia asli
dan orang-orang dari bangsa lain yang disahkan oleh UU menjadi
warganegara.
Aturan-aturan yang diskriminatif yang dibuat oleh
Pemerintah kolonial itulah yang menjadi latar belakang istilah “orang
Indonesia asli” atau pribumi. Saya hanya mengingatkan kita semua agar
jangan sekali kali melupakan sejarah.
sumber: Redaksi Salam-Online –
Artikel ini juga dapat dibaca DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar